Selasa, 05 Mei 2009

Dzikir

Banyak dari kita yang memaknai dzikir hanya sebagai ritual, hanya sebagai lantunan kata-kata yang dilantunkan berkali-kali tanpa benar-benar memahami dan menghayati arti dari masing-masing kalimat yang diucapkan. Hanya mantra, tidak ubahnya seperti dukun. Hanya mantra yang diucapkan 99 kali, atau seribu kali untuk mengharapkan sesuatu, tanpa benar-benar meminta, menyebutkan apa sebenarnnya kemauannya itu.

Bagi sebagian dari kita, hanya mengucapkannya saja mungkin sudah bisa mengalami ekstase yang luar biasa. Namun bagi sebagian dari kita yang lain, mengucapkannyaa saja tidak memberi arti apa-apa. Hal ini karena setiap manusia diciptakan berbeda dan pencapaian spiritual setiap manusia pun berbeda-neda antara satu dengan yang lain.

Dzikir tidak cuma Subhanalloh, Alhamdulillah, Laa Ilaaha Ilalloh, dan Allhu Akbar saja. Ketika kita termenung, mencoba memahami permasalahan hidup kita, dengan mencoba memahami apa maksud-Nya dengan semua ini, kita sudah berdzikir. Begitu juga ketika kita termenung, mencoba memahami permasalahan hidup yang sedang kita hadapi, mencoba menangkap apa maksud-Nya dengan memberi kita cobaan yang sedang kita hadapi, itu juga berdzikir. Begitu juga ketika kita sedang menikmati keindahan ciptaan-Nya, tanpa berucap Subhanalloh-pun, kita sudah berdzikir jika kita mengingat Alloh pada waktu itu.

Kemudian hal yang tidak kalah penting, namun seringkali kita lalai adalah pentingnya pemahaman mengenai arti dari masing-masing kalimat toyyibah tersebut. Sering kali kalimat-kalimat itu hanya Cuma sekedar ucapan saja. Hanya sekedar pemanis bibir, tanpa benar-benar menghayati, ataupun memahami arti dan makna sesungguhnya dari masing-masing kalimat tersebut. Berikut ini ada sedikit mengenai makna dari kalimat-kalimat tersebut.
Subhanalloh

Bila diartikan secara bahasa, berarti Mahasuci Alloh, namun bermakana bahwa Alloh itu Mahasuci diatas segalanya. Alloh itu Cuma satu-satunya yang benar-benar suci, dan sumber dari semua kehidupan, memiliki kesucian yang selamanya akan suci dan tidak akan pernah bisa terkotori oleh apapun.

Kata “suci” dalam kalimat ini berarti lebih dari sekedar “suci” dalam arti harfiah. Namun juga suci, murni dalam hal ruhiah. Artinya, jika roh manusia, itu suci – secara manusia adalah makhluk yang paling sempurna – maka Alloh lebih suci, the essence of all essences of life in this world or the after, dan secara lahiriah, serta ruhiah sama sekali berbeda dengan segala yang ada di dunia ini. Atau dengan kata lain, bisa diartikan bahwa jika segala yang ada di dunia ini adalah “kotor”, maka Alloh satu-satunya yang terbebas dari apapun yang mengotori dunia ini, dan Alloh-lah satu-satunya yang “suci” beserta singasana-Nya.
Alhamdulillah

Atau, segala puji bagi Alloh. Tidak ada satupun yang patut dipuji, dicintai, diagungkan melebihi Alloh SWT apalagi disembah. Kalimat ini merupakan salah satu bentuk pengungkapan rasa cinta kita kepada Alloh SWT.

Secara fitrah, kita sebagai manusia ketika mencintai sesuatu, atau seseorang, kita akan cenderung untuk memujinya. Dan kadang kala ketika kecintaan itu sudah akut dan begitu kental, kita akan menjadi terobsesi, mencintainya dengan berlebihan, yang semuanya itu berawal dari pujian. Jika sudah begitu, lebih parah lagi akan menjerumuskan kita menjadi mengkultuskan seseorang yang kita puja dan kita cintai itu, melakukan semua yang dimintanya tanpa pertimbangan akal sehat.

Atau menjadi syirrik karena saking cintanya, sampai-sampai meminta pertolongan atau menyembah yang dicintai itu.

Kita semua sebagai umat Islam, tentunya mencintai Nabi Muhammad SAW jadi kita bersholawat kepadanya. Maka sebagai wujud dari kecintaan kita kepada Alloh, kita tidak memuji selain-Nya dengan berlebihan. Karena Alloh-lah satu-satunya yang patut untuk dipuji tanpa ada satu batasan apapun.

“Segala sesuatu selain Alloh” disini tidak hanya sebatas seseorang, atau suatu benda. Bisa juga “sesuatu” ini berupa satu sistim atau paham – seperti kapitalisme, evolusi (darwinisme), moneterisme, demokrasi, dan lain sebagainya – atau bisa juga berupa uang atau harta dunia yang fana. Dan lagi-lagi karena kecintaannya itu, sampai-sampai dibela dengan mati-matian, dengan menghalalkan segala cara. Meskipun seiring dengan berjalannya waktu telah terbukti kecacatannya, kelemahannya, dan keabsahannya sebagai pijakan.

Jika dianalogikan, karena kecintaannya, batu yang licin atau tajam tetap dipakai sebagai pijakan, meski terlihat ada batu lain yang lebih kokoh dan aman untuk dipakai sebagai pijakan.
Laa Ilaaha Ilalloh

Tiada tuhan selain Alloh. Namun kata “Illah” dalam kalimat tersebut tidak semata berarti “Tuhan”. Dalam terminologi bahasa Arab, ada kata Illah berarti tuhan yang “the ultimate one”. Ada kata lain dalam bahasa Arab yang juga bisa diartikan sebagai “Tuhan”, yaitu kata “Rabb” atau “Rabbil” seperti dalam kalimat “Alhamdulillahirobbil Alamiin”.

Pada masa jahiliyah, banyak diantara penyembah berhala yang menolak untuk mengucapkan kalimat Syahadat karena konsekuensi menyebut Allah sebagai Illah adalah sangat berat. Mereka tidak lagi bisa menuhankan, mengidolakan, memuja, atau mencintai selain Alloh, melebihi Alloh sendiri, dan mereka harus meninggalkan agama dan tradisi lama yang selama ini mereka jaga. Hal ini harus benar-benar kita sadari, karena kenyataan di sekitar kita sampai saat ini, masih banyak umat Islam yang masih belum bisa menempatkan Alloh sebagai “Illah”. Masih banyak diantara kita yang masih menempatkan Alloh sebagai “Rabb” saja. Masih banyak diantara kita yang masih memelihara tradisi-tradisi yang sebenarnya berseberangan dengan syariah. Sebut saja seperti kejawen, haul, ruwatan, selametan, atau tradisi lain yang sebenarnya itu bid’ah yang nabi sendiri tidak pernah mengajarkannya kepada kita.

Kemudian lagi-lagi hal ini berawal dari kecintaan yang berlebihan terhadap sesuatu selain Aloh. Dan dengan kata lain, percuma jika kita berdzikir, tetapi masih mengamalkan semua itu. Percuma juga kita ibadah dalam hidup ini jika Illah kita bukan Alloh.
Allohu Akbar

Alloh Mahabesar. Besar dalam arti harfiah, lahiriah, ataupun besar sebagaimana kita menyebut seseorang yang berjasa sebagai orang besar. Namun dalam hal ini konteks “besar” sudah pada level yang sama sekali berbeda. Jauh diatas melampaui konteks “kebesaran” yang bertebaran di dunia ini.

Dilihat dari fungsinya, kalimat Allahu Akbar itu memiliki fungsi yang mirip dengan kalimt “banzai” dalam bahasa Jepang, namun dalam tataran dan level yang sama sekali berbeda.

Ketika ada sesuatu yang besar menghadang dalam menjalani kehidupan, sesuatu yang lebih dari sekedar batu sandungan dalam hidup ini, kita harus ingat, bahwa ada yang lebih besar dari semuanya. Sesuatu yang lebih besar, yang mampu dan punya kuasa untuk membuat segalanya terjadi. Maka kepada-Nya yang Mahabesar-lah kita kembalikan semuanya.

Begitupun ketika kita sedang down, harus kita sadari bahwa ada sesuatu yang Mahabesar, dan karena ke-Mahabesaran-Nya itu, hanya Dia yang bisa menolong kita

Mahabesar, dan karena kebesarannya, semua yang ada akan terlihat kecil dihadapannya. Bahkan bukan hanya terlihat, namun juga menjadi benar-benar kecil dihadapan-Nya.

Jangankan jika dibandingkan dengan-Nya, dengan salah satu ciptaan-Nya saja kita masih sangat kecil. Lalu hanya karena merasa sedikit beruntung, ada diantara kita lantas menjadi sombong. Hanya karena mejadi sedikit lebih besar, atau lebih tinggi derajatnya dihadapan orang lain, kita seringkali lupa dan akhirnya menjadi sombong. Lantas apa hak kita untuk sombong dihadapan manusia?

Tidakkah kita ingat, ketika iblis diusir dari surga krena kesombongannya? Tidakkah kita ingat karena kesombongannya itu pula, iblis dilaknat Alloh SWT sampai hari pembalasan nanti?

Berdzikir bisa memberikan kedamaian di dalam hati kita. Namun tentu saja jika kita memahami makna dari tiap kata yang diucapkan ketika berdzikir. Dan hanya ketika itu pula kita bisa merasakan kenikmatan dalam berdzikir. Rasanya seperti kenikmatan yang kita rasakan ketika mengingat orang yang kita cintai, namun dalam taraf yang lebih tinggi, dan lebih syahdu. Karena yang kita cintai dan kita lamunkan kala itu adalah the ultimate one, yang memang jauh lebih tinggi dari sekedar “seseorang”.

Dzikir juga berfungsi sebagai media pengendalian diri serta untuk mendekatkan diri kepada Alloh. Ketika kita merasa kurang bersemangat, stress karena permasalahan hidup, kita teriakkan “Allohu Akbar” dari dalam lubuk hati yang paling dalam, untuk membakar semangat, menjaga kita agar tidak jatuh ke dalam jurang keterpurukan. Ketika kita terpukau, terperana oleh keindahan ciptaan-Nya, kita mengucapkan “Subhanalloh” dan “Alhamdulillah” agar kita senantiasa terjaga, dan akan selalu ingat bahwa semua ini adalah fana, dan bagaimanapun indahya, tetap merupakan ciptaan Alloh.

Ketika kita marah, atau sedang bersedih, dengan berdzikir pula kita bisa lebih mengendalikan diri kita agar jangan sampai dikendalikan oleh amarah atau perasaan negatif lainnya.

Kemudian yang seringkali kita lalai adalah bahwa tidak ada batasan dalam dzikir, berapa kalipun banyaknya, berapa seringpun kita ucapkan. Adakalanya kita terlalu fokus kepada kuantitas dzikir kita. Kita hanya mengejar jumlah tertentu yang harus diucapkan dalam satu hari. Kita menjadi terjebak dalam ibadah dzikir yang kosong, tanpa makna. Hanya satu ritual yang dilakukan berkali-kali dengan membaca mantra yang disebut “dzikir”.

Dalam berdzikir yang paling penting adalah kualitas. Yang paling penting adalah penjiwaan dan penghayatan atas kehadiran Alloh. Karena sesungguhnya esensi dari dzikir itu sendiri adalah mengingat Alloh, merenungkan kebesaran-Nya, dan kefanaan kita sebagai manusia.

Dan satu hal lagi yang sering kita lalai adalah bahwa Alloh itu Mahamendengar, jadi tidak perlu pengeras suara untuk berdzikir. Dzikir adalah ibadah yang bersifat intim dan personal antara Alloh dan masing-masing dari diri kita. Sama seperti halnya dengan Qiyamullail atau sholat malam.

Cara berdzikirpun tidak hanya dengan mengucapkan kalimat toyyibah. Ketika kita menyendiri, merenung sendiri, tenggelam dalam alam pikiran kita dengan merenungkan keberadaan kita, Alloh, dan alam semesta, serta ketika kita merenungkan tentang kefaaan kita, maka hal itu juga termasuk dalam dzikir. Karena esensi dari ibadah dzikir adalah mengingat Alloh dan segala kebesaran-Nya. Wallohua’lam bisshowb.