Minggu, 21 Juni 2009

Makna Syahadatain

Makna Syahadatain



Jika kita ditanya mengenai rukun iman dan rukun Islam, tentu kita semua tahu dan tentunya kita juga bisa menyebutkannya satu per satu. Namun berapa banyak dari kita yang bisa benar-benar menerapkannya dan benar-benar menghayati makna dari kedua rukun itu?


Rukun iman yang pertama dan kedua adalah iman kepada Alloh dan iman kepada Nabi. Dan rukun Islam yang pertama adalah mengucapkan dua kalimat syahadat. Dua hal ini menunjukkan penekanan terhadap pentingnya syahadat terhadap diri seorang muslim. Tetapi meski begitu, masih banyak dari kita yang memaknai syahadat hanya sebatas apa yang diucapkan oleh lisan saja dan tidak benar-benar menancapkan maknanya dalam hati dan jiwa kita.


Namun sebelum memahami makna dari syahadat, kita perlu tahu apa itu syahadat. Syahadat adalah ikrar yang kita ucapkan sebagai kesaksian kita terhadap kebenran ajaran agama Islam. Dan sebagaimana estinya sebuah ikrar, ketika diucapkan ada konsekuensi-konsekuensi yang harus dilakukan bersamaan dengan diucapkannya ikrar tersebut. Dan sebagaimana sebuah ikrar, ketika diucapkan harus juga dengan sepenuh hati, diyakini dengan sepenuh jiwa, dan dicerminkan dalam tindakan kita sehari-hari.


Kesaksian Terhadap Keesaan Alloh SWT



Kalimat syahadat yang pertama adalah pernyataan tidak adanya Illah selain Alloh. Kata “Illah” dalam kalimat Laa Ilaaha Illalloh tidak hanya bermakna “Tuhan” namun lebih dari itu. Kata Tuhan dalam bahasa Arab bisa disebut dengan Robb atau Robbi. Kata Illah berarti the ultimate one yang benar-benar mutlak, tidak ada lagi yang lainnya, yang benar-benar hanya ada Alloh Yang Maha Esa, tidak ada yang lainnya, yang benar-benar disembah, dicintai, ditakuti, dan benar-benar dipuja selain Alloh SWT.


Sebagai konsekuensi dari hal ini adalah, kita tidak boleh lagi memuja segala sesuatu melebihi Alloh SWT. Tidak lagi mencintai selain-Nya melebihi dosis kecintaan yang semestinya. Tidak lagi menjadikan materi sebagai obsesi dan orientasi hidup, tidak mempercayai perkataan “orang pintar”, serta tidak berdoa memohon pertolongan kepada selain Alloh SWT – meskipun hal tersebut adalah menjadikan sesuatu tersebut sebagai “perantara” untuk memohonkan doa kepada Alloh SWT. Doa adalah puncak dari ibadah seorang muslim kepada Tuhannya, dan sudah semestinya hal ini dilakukan tanpa perantara. Dan sesungguhnya Alloh menyukai hamba-Nya yang berdoa pada-Nya. Maka jika demikian bukankah jika kita langsung meminta kepada Alloh SWT!?


Pada masa jahiliyah, banyak diantara penyembah berhala yang menolak untuk mengucapkan kalimat Syahadat karena konsekuensi menyebut Alloh sebagai Illah adalah sangat berat. Mereka tidak lagi bisa menuhankan, mengidolakan, memuja, atau mencintai selain Alloh, melebihi Alloh sendiri, dan mereka harus meninggalkan agama dan tradisi lama yang selama ini mereka jaga. Hal ini harus benar-benar kita sadari, karena kenyataan di sekitar kita sampai saat ini, masih banyak umat Islam yang masih belum bisa menempatkan Alloh sebagai “Illah”. Masih banyak diantara kita yang masih menempatkan Alloh sebagai “Rabb” saja. Masih banyak diantara kita yang masih memelihara tradisi-tradisi yang sebenarnya berseberangan dengan syariah. Sebut saja seperti kejawen, haul, ruwatan, selametan, atau tradisi lain yang sebenarnya itu bid’ah yang nabi sendiri tidak pernah mengajarkannya kepada kita. Dan sekalipun itu tradisi, jika Nabi tidak mengajarkan, maka kita akan mendapatkan adzab Alloh karena dalam hal ibadah, apa yang kita lakukan harus benar-benar didasarkan atas apa yang dicontohkan secara langsung oleh nabi, ataupun diisyaratkan oleh nabi sendiri bahwa hal itu boleh. Suatu ibadah tidak boleh didasarkan pada qiyas ataupun pendpat semata. Harus ada Nash yang jelas.


Kemudian lagi-lagi hal ini berawal dari kecintaan yang berlebihan terhadap sesuatu selain Alloh. Dan dengan kata lain, percuma jika kita bersyahadat, tetapi masih mengamalkan semua itu. Percuma juga kita ibadah dalam hidup ini jika Illah kita bukan Alloh. Illah dalam hal ini bisa berupa suatu paham, uang, jabatan, atau wanita. Bisa juga berupa hal-hal klenik yang sesungguhnya tidak masuk akal.


Illah dalam konteks ibadah adalah sesuatu yang benar-benar disembah, dicintai, ditakuti, dijadikan obsesi, dan dijadikan orientasi hidup. Jika Illah kita bukan Alloh, atau kita tidak memiliki Illah, maka bisa dibayangkan bagaimana efeknya.


Kesaksian Terhadap Kerasulan Rasululloh Muhammad SAW

Dengan bersaksi bahwa Muhammad adalah Rasululloh, maka secara otomatis kita juga bersaksi bahwa kita mencintai Nabi Muhammad SAW melebihi cinta kita terhadap semua makhluk Alloh, bahkan mencintai beliau melebihi orang tua kita sendiri. Setiap generasi memiliki nabinya masing-masing, dan Nabi Muhammad SAW adalah nabi kita, yang diturunkan pada untuk kita, yang diutus untuk kita.


Kita sebagai umat Islam tentunya mengenal siapa itu Nabi Muhammad SAW. Namun, hampir dapat dipastikan jika kita yang mengaku Muslim ini mencintai beliau tidak sebagaimana mestinya. Kita seharusnya mencintai Alloh SWT dan Nabi Muhammad SAW melebihi orang-tua kita, pacar kita, bahkan nyawa kita. Namun kenyataannya, meski kita mengakui beliau sebagai Nabi kita, banyak diantara kita yang lebih mengidolakan artis daripada Nabi Muhammad SAW. Bahkan sosok Nabi Muhammad SAW hanya seorang legenda saja dalam benak kebanyakan dari kita.


Jika kita memang benar mencintai Nabi kita Muhammad SAW, tentunya kita akan mempelajari hadist beliau, biografi beliau beserta tingkah laku beliau tanpa pernah bosan, sampai sedetail-detailnya, sampai hal yang sekecil-kecilnya agar kita bisa menjadi seperti beliau. Namun apa nyatanya kawan? Banyak diantara kita yang tidak mengenalnya. Kita hanya mengenalnya sebatas cerita. Banyak dari kita bahkan tidak benar-benar mengimaninya sebagai Rasul – dalam artian, banyak hal yang beliau ajarkan, enggan untuk kita ikuti. Bahkan kita menjadi fobia terhadap ajaran beliau – yang kita sebut sebagai syariah Islam. Kita seharusnya malu kawan.


Nabi kita sangat mencintai kita umat Islam ini sebagai umatnya. Sampai-sampai pada waktu ajal sudah di depan beliau, Nabi masih memikirkan umatnya. Ketika nyawanya dicabut, Nabi bertanya pada Malaikat apakah umatnya bakal merasakan rasa sakit yang sama, Malaikat menjawb jika umatnya bakal merasakan yang lebih sakit lagi. Lalu beliau meminta Malaikat untuk menimpakan semua rasa sakit yang nanti akan dirasakan oleh umat beliau. Ketika nyawa beliau sudah sudah berada di tenggorokan, beliau bahkan mengucapkan Ummati,…. Ummati,… Umati,…yang artinya “Umatku,…Umatku,…Umatku,…”[1] yang menunjukkan bahwa sampai maut menjemputnya, Nabi masih begitu memikirkan umatnya, karena cintanya terhadap umatnya yang sangat dalam.


Lalu kawan, jika cinta Nabi pada kita sampai segitunya, dan dengan ajaran beliau yang begitu agung dan mulianya, apa pantas jika kita mencintai Nabi Muhammad hanya sebatas seperti pemaparan di atas? Apakah kita tidak malu pada diri kita sendiri? Atau dengan kata lain, apa masih pantas kita mengaku sebagai umat Islam? Jika memang cinta kita terhadap beliau hanya sebatas itu, jika memang kita fobia terhadap syariah Islam, tidak mau menerima syariah Islam tanpa mempelajarinya terlebih dahulu, kenapa tidak buang saja sekalian keislaman kita? Toh hal itu tidak ada bedanya karena kita tidak mencintai Nabi Muhammad SAW sebagaimana mestinya.


Nabi Muhammad SAW itu seorang manusia biasa kawan. Beliau diturunkan di dunia ini untuk menjadi suri tauladan bagi kita semua. Beliau diturunkan di dunia ini untuk kita cintai. Dan apa yang beliau lakukan, tidak ada yang mustahil untuk kita lakukan. Apa yang berasal dari beliau, sudah pasti baik karena pasti berasal dari Alloh SWT. Dan kita diciptakan sebagai umat Islam, umat beliau, seharusnya meneladani beliau dalam semua hal. Dalam hal ibadah, seharusnya kita tidak melakukan ibadah-ibadah yang tidak semestinya. Tidak melakukan ibadah-ibadah yang jelas-jelas tidak dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW. Tidak melakukan ibadah-ibadah yang tidak jelas tuntunannya, meskipun hal ini diperintahkan oleh ustad kita.


Dengan mengucapkan dua kalimat syahadat, maka kita dengan sendirinya harus melaksanakan semua perintah Alloh, dan menegakkan Syariah sebagaimana yang diajarkan oleh Nabi Muhamad SAW. Jadi syahadat itu bukan hanya beruapa ikrar semata, ada konsekuensi logis sebagai umat Islam ketika kita sudah mengucapkanya. Wallohua’lam bisshowab.


By: Arudatu

http://arudatu.blogspot.com

http://detuva.multiply.com



[1] Hadist riwayat Fatimah binti Rasuillah